Sunday, October 1, 2017

Menakar Potensi Konflik Bernuansa Dikotomi Antara Partai Nasionalis dan Islam




Dalam perjalanan kehidupan politik di tanah air, kerap kita menyaksikan, isu-isu sensitif dijadikan sarana memainkan daya tawar kepada konstituen. Meskipun para politisi sendiri, menampik fenomena mendulang dukungan melalui pertentangan bermotifkan agama, ras atau asal usul, tidak bisa dikesampingkan bahwa cara-cara demikian, secara kasat mata semakin populer untuk menarik simpati masyarakat, terlepas dari anggapan miring atas penggunaan cara primitif seperti itu.
Lalu bagaimana mengelola emosi massa, agar tidak mudah terjebak dengan pola yang sama, dan berpotensi memicu konflik horizontal ? Tentu perlu menjadi pemikiran yang mendalam. Setiap kali masuk ke sekitar masa mobilisasi dukungan kepada para kontestan Pemilu atau Pilkada, yang menjadi korban dari perebutan kekuasaan, selalu menimpa kalangan bawah sebagai mayoritas.
Resiko polarisasi massa di tataran akar rumput, yang selalu menjadi kejadian periodik setiap masa pesta demokrasi berlangsung. Dengan hanya memberi sedikit pemicu yang bersifat provokatif, dapat dipastikan konflik yang ditimbulkannya bak api menyambar ladang ilalang, perlu waktu lama untuk meredakannya.
Tengok saja tema yang sedang hangat dibicarakan beberapa hari belakangan ini. Perhatian kita seolah dipaksa berpaling ke arah mereka yang membicarakan potensi bangkitnya PKI, stigma yang berbau absurd bukan menjadi hambatan untuk ditiupkan terus menerus, yang disasar hanya sebatas memancing emosi massa, untuk menaikkan posisi tawar mereka secara politis.
Menjelang Pemilu atau Pilkada, sepintas para calon pemilih seperti mendapat perhatian penuh dari para kandidat, tercermin dari giatnya para kontestan melakukan penetrasi ke perkampungan, blusukan ke pasar tradisional, bahkan membaur dalam kancah yang melibatkan masyarakat luas, hal yang hampir tidak pernah mereka lakukan di kesehariannya. Repotnya, kita yang dijadikan bidikan mereka, hampir tidak pernah berpikir panjang, apa lagi mengkritisi sikap mereka yang hanya mendekat pada saat-saat seperti itu.
Selama tidak ada ancaman melalui mekanisme hukum positif, bahwa janji-janji kepada calon pemilih, yang dilontarkan dengan  gaya hiperbola sekalipun, seolah sah-sah saja untuk meraih dukungan seluas-luasnya. Bahkan ketika melemparkan beragam cara, untuk menjatuhkan kredibilitas lawan, sadar atau tidak, selama tidak terungkap bahwa pelakunya adalah sang peserta, selalu menjadi model dan gaya kampanye paling mudah.
Bukan hal yang sederhana, jika para penggiat demokrasi menginginkan cara-cara elegan dalam membangun demokrasi secara normatif, karena kita selama ini belum memiliki daya paksa ke arah itu. Pelaku kampanye hitam selalu memiliki cara mengelak dari sangkaan, karena ketika mereka membuat desain strategi kotornya, sudah termasuk di dalamnya, mekanisme menghapus jejak.
Patut disayangkan, bahwa ancaman diskualifikasi bagi kontestan Pemilu yang terbukti melakukan kecurangan, termasuk kampanye hitam, belum efektif meredam kecenderungan perilaku tidak terpuji tersebut. Masalah pembuktian tentu menjadi hambatan terbesar, ketika kasus ini memasuki ranah hukum.
Dan kini sudah mendesak untuk diciptakan terobosan agar aturan serupa, dapat mengikat seluruh peserta, sehingga mampu menjamin terciptanya azas Pemilu dan Pilkada yang jujur dan beradab. Upaya untuk mengganggu popularitas pesaing dalam pilkada misalnya,  bahkan sudah dilakukan jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Kejadian seperti ini, jika tidak dicegah, bisa berkembang menjadi ancaman yang semakin besar.
Pertentangan yang berawal dari perbedaan basis partai, menjadi salah satu faktor merebaknya rivalitas yang tidak sehat. Padahal jika dianalisis dengan seksama, partai berbasis islam di satu sisi, dan nasionalis di sisi lain, tidak terlihat berbeda ketika mereka mengelola pemerintahan yang sama, lebih-lebih jika terjadi koalisi, perbedaan itu menjadi semakin kabur.
Kita pasti paham, seseorang tidak secara otomatis lebih islami ketika bernaung di bawah partai berbasis islam, dibanding mereka yang berbasis nasionalis. Demikian juga sebaliknya, seseorang tidak secara otomatis lebih nasionalis, ketika bernaung di bawah bendera partai berbasis nasionalis.
Untuk keperluan yang lebih mendasar, yakni meminimalisir perbedaan, yang berpotensi meningkatkan pertentangan, kita sebaiknya menghindarkan diri dari dikotomi antara partai islam dengan partai nasionalis. Atau jangan-jangan keberadaan kedua kubu itu memang menjadi kodrat dunia politik di negara kita. Jika benar, persaingan yang bersumber dari perbedaan basis keduanya, selalu mewarnai dunia politik kita.
Ironisnya, terungkapnya penyedia jasa yang bisa mengakomodasi hasrat merusak kredibilitas lawan politik, disinyalir melibatkan partai-partai pendukung kontestan, termasuk yang berbasis islam. Fakta ini mengkonfirmasi, bahwa predikat agama yang melekat sebagai basis partai, tidak menjadikannya mengedepankan etika berpolitik yang agamis.
Penerapan dan penggunaan hukum yang tegas dan keras bagi para penyebar kampanye hitam, haruslah didukung dengan cara pembuktian yang memadai. Jika untuk membuktikan terjadinya transaksi pelaku korupsi, dapat dilakukan melalui dukungan teknologi, maka hal yang sama pasti memungkinkan diterapkan kepada pelaku kampanye hitam.
Ancaman diskualifikasi yang hanya diterapkan kepada pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis dan masif, juga menjadi salah satu kelemahan ketika dari sisi hukum, tidak menemukan kecukupan bukti.
Meskipun aroma pelanggaran sangat terasa, mengingat secara materi tidak diperoleh bukti, pelaku dapat melenggang dengan bebas. Tampaknya perlu definisi ulang untuk pelanggaran yang bersifat lokal atau dalam tingkat wilayah misalnya, dapat dikategorikan sebagai sistematis sesuai lokasi atau wilayahnya.
Dengan penerapan ancaman secara bertingkat, diharapkan para calon kontestan beserta pendukungnya, akan berpikir panjang ketika hendak melakukan pelanggaran. Perpaduan antara dukungan teknologi dengan perbaikan tekstual pada perundang-undangan, semoga menjadi pertimbangan guna terciptanya proses pemilu dan pilkada yang lebih baik.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2017 MBLOGOBLOG