Menakar Potensi Konflik Bernuansa Dikotomi Antara Partai Nasionalis dan Islam
Dalam perjalanan
kehidupan politik di tanah air, kerap kita menyaksikan, isu-isu sensitif dijadikan
sarana memainkan daya tawar kepada konstituen. Meskipun para politisi sendiri,
menampik fenomena mendulang dukungan melalui pertentangan bermotifkan agama, ras
atau asal usul, tidak bisa dikesampingkan bahwa cara-cara demikian, secara
kasat mata semakin populer untuk menarik simpati masyarakat, terlepas dari
anggapan miring atas penggunaan cara primitif seperti itu.
Lalu bagaimana
mengelola emosi massa, agar tidak mudah terjebak dengan pola yang sama, dan
berpotensi memicu konflik horizontal ? Tentu perlu menjadi pemikiran yang
mendalam. Setiap kali masuk ke sekitar masa mobilisasi dukungan kepada para
kontestan Pemilu atau Pilkada, yang menjadi korban dari perebutan kekuasaan,
selalu menimpa kalangan bawah sebagai mayoritas.
Resiko polarisasi massa
di tataran akar rumput, yang selalu menjadi kejadian periodik setiap masa pesta
demokrasi berlangsung. Dengan hanya memberi sedikit pemicu yang bersifat provokatif,
dapat dipastikan konflik yang ditimbulkannya bak api menyambar ladang ilalang, perlu
waktu lama untuk meredakannya.
Tengok saja tema
yang sedang hangat dibicarakan beberapa hari belakangan ini. Perhatian kita
seolah dipaksa berpaling ke arah mereka yang membicarakan potensi bangkitnya
PKI, stigma yang berbau absurd bukan
menjadi hambatan untuk ditiupkan terus menerus, yang disasar hanya sebatas
memancing emosi massa, untuk menaikkan posisi tawar mereka secara politis.
Menjelang Pemilu
atau Pilkada, sepintas para calon pemilih seperti mendapat perhatian penuh dari
para kandidat, tercermin dari giatnya para kontestan melakukan penetrasi ke
perkampungan, blusukan ke pasar tradisional, bahkan membaur dalam kancah yang
melibatkan masyarakat luas, hal yang hampir tidak pernah mereka lakukan di kesehariannya.
Repotnya, kita yang dijadikan bidikan mereka, hampir tidak pernah berpikir
panjang, apa lagi mengkritisi sikap mereka yang hanya mendekat pada saat-saat
seperti itu.
Selama tidak ada
ancaman melalui mekanisme hukum positif, bahwa janji-janji kepada calon pemilih,
yang dilontarkan dengan gaya hiperbola
sekalipun, seolah sah-sah saja untuk meraih dukungan seluas-luasnya. Bahkan
ketika melemparkan beragam cara, untuk menjatuhkan kredibilitas lawan, sadar
atau tidak, selama tidak terungkap bahwa pelakunya adalah sang peserta, selalu
menjadi model dan gaya kampanye paling mudah.
Bukan hal yang
sederhana, jika para penggiat demokrasi menginginkan cara-cara elegan dalam
membangun demokrasi secara normatif, karena kita selama ini belum memiliki daya
paksa ke arah itu. Pelaku kampanye hitam selalu memiliki cara mengelak dari
sangkaan, karena ketika mereka membuat desain strategi kotornya, sudah termasuk
di dalamnya, mekanisme menghapus jejak.
Patut disayangkan,
bahwa ancaman diskualifikasi bagi kontestan Pemilu yang terbukti melakukan
kecurangan, termasuk kampanye hitam, belum efektif meredam kecenderungan
perilaku tidak terpuji tersebut. Masalah pembuktian tentu menjadi hambatan
terbesar, ketika kasus ini memasuki ranah hukum.
Dan kini sudah
mendesak untuk diciptakan terobosan agar aturan serupa, dapat mengikat seluruh
peserta, sehingga mampu menjamin terciptanya azas Pemilu dan Pilkada yang jujur
dan beradab. Upaya untuk mengganggu popularitas pesaing dalam pilkada misalnya,
bahkan sudah dilakukan jauh hari sebelum
masa kampanye dimulai. Kejadian seperti ini, jika tidak dicegah, bisa berkembang
menjadi ancaman yang semakin besar.
Pertentangan yang
berawal dari perbedaan basis partai, menjadi salah satu faktor merebaknya
rivalitas yang tidak sehat. Padahal jika dianalisis dengan seksama, partai
berbasis islam di satu sisi, dan nasionalis di sisi lain, tidak terlihat
berbeda ketika mereka mengelola pemerintahan yang sama, lebih-lebih jika terjadi
koalisi, perbedaan itu menjadi semakin kabur.
Kita pasti paham,
seseorang tidak secara otomatis lebih islami ketika bernaung di bawah partai
berbasis islam, dibanding mereka yang berbasis nasionalis. Demikian juga
sebaliknya, seseorang tidak secara otomatis lebih nasionalis, ketika bernaung
di bawah bendera partai berbasis nasionalis.
Untuk keperluan
yang lebih mendasar, yakni meminimalisir perbedaan, yang berpotensi
meningkatkan pertentangan, kita sebaiknya menghindarkan diri dari dikotomi
antara partai islam dengan partai nasionalis. Atau jangan-jangan keberadaan kedua
kubu itu memang menjadi kodrat dunia politik di negara kita. Jika benar, persaingan
yang bersumber dari perbedaan basis keduanya, selalu mewarnai dunia politik
kita.
Ironisnya, terungkapnya
penyedia jasa yang bisa mengakomodasi hasrat merusak kredibilitas lawan politik,
disinyalir melibatkan partai-partai pendukung kontestan, termasuk yang berbasis
islam. Fakta ini mengkonfirmasi, bahwa predikat agama yang melekat sebagai
basis partai, tidak menjadikannya mengedepankan etika berpolitik yang agamis.
Penerapan dan
penggunaan hukum yang tegas dan keras bagi para penyebar kampanye hitam,
haruslah didukung dengan cara pembuktian yang memadai. Jika untuk membuktikan
terjadinya transaksi pelaku korupsi, dapat dilakukan melalui dukungan teknologi,
maka hal yang sama pasti memungkinkan diterapkan kepada pelaku kampanye hitam.
Ancaman diskualifikasi
yang hanya diterapkan kepada pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis dan
masif, juga menjadi salah satu kelemahan ketika dari sisi hukum, tidak
menemukan kecukupan bukti.
Meskipun aroma
pelanggaran sangat terasa, mengingat secara materi tidak diperoleh bukti,
pelaku dapat melenggang dengan bebas. Tampaknya perlu definisi ulang untuk
pelanggaran yang bersifat lokal atau dalam tingkat wilayah misalnya, dapat
dikategorikan sebagai sistematis sesuai lokasi atau wilayahnya.
Dengan penerapan
ancaman secara bertingkat, diharapkan para calon kontestan beserta
pendukungnya, akan berpikir panjang ketika hendak melakukan pelanggaran.
Perpaduan antara dukungan teknologi dengan perbaikan tekstual pada
perundang-undangan, semoga menjadi pertimbangan guna terciptanya proses pemilu
dan pilkada yang lebih baik.
0 komentar:
Post a Comment